Hari Ulang Tahun Kemerdekaan yang jatuh bertepatan dengan bulan Ramadan
justru tidak menguntungkan bagi penjual bendera Merah Putih. Apalagi,
peringatan Hari Kemerdekaan itu sudah berdekatan dengan Lebaran.
Seperti yang dialami oleh Syawal (49). Pria paruh baya ini mengaku sepi dagangannya dalam dua terakhir. Sepinya pembeli karena banyak warga yang lebih membelanjakan uangnya untuk persiapan Lebaran.
"Dari bujangan sampai punya anak umur 23 tahun saya jualan bendera . Nikah juga dari bendera. Dua tahun berturut-turut turun, sepi. Pengaruhnya karena Lebaran tidak banyak yang pasang umbul," kata Syawal kepada merdeka.com di sekitar Pasar Cikini, Jakarta, Rabu (15/8).
Syawal mengaku, ketika Hari Kemerdekaan tidak berdekatan dengan Hari Raya, banyak pembeli. Dia bisa meraup untung hingga jutaan rupiah. Tapi kini, dalam satu hari belum tentu satu bendera terjual.
"Kalau dulu borongan umbul-umbul, sendiri dapat 6-8 juta. Untung-untungan jual bendera. Kalau sehari-hari mendingan mulung," ujar Syawal yang juga berprofesi sebagai pemulung.
Untungnya, bapak enam anak ini tak habis akal sembari berdagang bendera, Syawal juga ikut membantu membuat keranjang parsel. Bahkan sehari bisa 10 keranjang dibuatnya.
"Sambil nyambi bikin keranjang parsel satu keranjang bisa 2500. Sehari bisa 10 keranjang. Pulangnya jam 11-12 malam. Berangkat jam 10 biasanya. Di sini-sini aja jualan bendera, mangkal," jelas bapak yang sebagian besar anaknya lulusan SD ini.
Ketika ditanya mengenai keuntungan penjualan bendera, Syawal mengaku tidak banyak dari hasil penjualannya. Sejak awal berjualan paling banyak bendera yang laku hanya 6-7 buah. Satu umbul-umbul yang harga awalnya 35 ribu dia jual 40-45 ribu. Kemudian dia setor ke agen penjual bendera dari 40-45 ribu dia hanya dapat 10-15 ribu tiap bendera.
Alhasil tahun ini jangankan untuk mudik atau beli baju baru, untuk makan sehari-hari harus kerja hingga lewat tengah malam sampai-sampai keluarga di Manggarai harus menjemput dan mengingatkan dirinya untuk pulang.
"Tahun ini tidak mudik, boro-boro. Anak juga minta baju baru terus pusing saya. Makannya juga masih mikir," ujarnya sedih.
http://www.merdeka.com/peristiwa/nestapa-penjual-merah-putih-jelang-lebaran.html
-----------------------------------------
Berita ini dibuat setelah sebelumnya sudah lama sekali tidak nulis berita feature. Berbicara dengan pak Syawal jadi mengingatkan kembali manusia bukan apa-apa dan tak ada yang perlu disombongkan. sekilas tampak dia lemah, tak bersemangat serta cenderung pasrah. Tapi inilah wajah-wajah sebenarnya rakyat jelata. Dosanya mereka tak pernah mau bermimipi untuk menjadi maju, tragis.
Tapi yang paling dibanggakan justru mugkin jarang dimiliki para pemimpi manapun, yaitu tunduknya dia pada takdir. Jika seorang pemimpi cenderung menolak apaun takdir yang buruk baginya tapi tidak dengan bapak syawal.Bahkan jika memang tuhan ingin mencabut nyawanya sekarang diapun rela. bagaimana dengan pemimpi? mana mau dia menyerahkan nyawanya sebelum mimpinya terwujud!!
saat itu tengah hari bolong, di bawah panas menyengat ku dampingi dia yang sibuk memaku kayu-kayu kecil untuk dibuat keranjang. Penghasilannya saat itu kecil sekali, yang buat gregetan di tengah ekonomi menjepit anaknya tetap banyak. itu dosa kedua bagi rakyat jelata
Tapi berbeda dari rakyat miskin yang malas dan kerjanya hanya meminta. pak Syawal beda. Dia tergolong rajin bekerja sampai-sampai keluarganya harus menjemputnya jika dia pulang lewat tengah malam. Di tengah asap rokok yang dia hembuskan kuat-kuat seolah-olah cerita itu menjadi asa yang terbang dibawa udara. Bicaranya enteng tapi tampak sekali dia memendam rasa kecewa di hidupnya. Mana ada orang mau hidup susah begitu??
Lalu mau apa? protes ke tuhan? sudah ku bilang dia bukan tipikal orang seperti itu. Meski seberapapun dia tidak suka para preman memintainya uang dan mengancam membunuhnya. Dengan santai menjawab, "kalau memang saya harus lewat ya mau apa, palingan anak saya jadi yatim" .......
Kalau sudah begitu, rasanya ada beribu paku yang menghujam hati. Kita yang selama ini terus mengeluh betapa sulitnya hidup lantaran masalah pekerjaan, putus sama pacar, atau berantem sama temen mau jawab apa???
Memandanginya lama, kerasnya hidup buat dia begitu tegar dan sekali lagi bercermin masihkah kita mengeluh dengan hidup kita yang tergolong enak, sedangkan banyak orang di luar sana yang harus berjuang hanya untuk bisa melanjutkan hidup mereka.
Pekerjaannya memang dari merah putih, yang notabenenya untuk membangkitkan nasionalisme Indonesia. Tapi tanah air tidak memihaknya atau (belum) memihak padanya
Seperti yang dialami oleh Syawal (49). Pria paruh baya ini mengaku sepi dagangannya dalam dua terakhir. Sepinya pembeli karena banyak warga yang lebih membelanjakan uangnya untuk persiapan Lebaran.
"Dari bujangan sampai punya anak umur 23 tahun saya jualan bendera . Nikah juga dari bendera. Dua tahun berturut-turut turun, sepi. Pengaruhnya karena Lebaran tidak banyak yang pasang umbul," kata Syawal kepada merdeka.com di sekitar Pasar Cikini, Jakarta, Rabu (15/8).
Syawal mengaku, ketika Hari Kemerdekaan tidak berdekatan dengan Hari Raya, banyak pembeli. Dia bisa meraup untung hingga jutaan rupiah. Tapi kini, dalam satu hari belum tentu satu bendera terjual.
"Kalau dulu borongan umbul-umbul, sendiri dapat 6-8 juta. Untung-untungan jual bendera. Kalau sehari-hari mendingan mulung," ujar Syawal yang juga berprofesi sebagai pemulung.
Untungnya, bapak enam anak ini tak habis akal sembari berdagang bendera, Syawal juga ikut membantu membuat keranjang parsel. Bahkan sehari bisa 10 keranjang dibuatnya.
"Sambil nyambi bikin keranjang parsel satu keranjang bisa 2500. Sehari bisa 10 keranjang. Pulangnya jam 11-12 malam. Berangkat jam 10 biasanya. Di sini-sini aja jualan bendera, mangkal," jelas bapak yang sebagian besar anaknya lulusan SD ini.
Ketika ditanya mengenai keuntungan penjualan bendera, Syawal mengaku tidak banyak dari hasil penjualannya. Sejak awal berjualan paling banyak bendera yang laku hanya 6-7 buah. Satu umbul-umbul yang harga awalnya 35 ribu dia jual 40-45 ribu. Kemudian dia setor ke agen penjual bendera dari 40-45 ribu dia hanya dapat 10-15 ribu tiap bendera.
Alhasil tahun ini jangankan untuk mudik atau beli baju baru, untuk makan sehari-hari harus kerja hingga lewat tengah malam sampai-sampai keluarga di Manggarai harus menjemput dan mengingatkan dirinya untuk pulang.
"Tahun ini tidak mudik, boro-boro. Anak juga minta baju baru terus pusing saya. Makannya juga masih mikir," ujarnya sedih.
http://www.merdeka.com/peristiwa/nestapa-penjual-merah-putih-jelang-lebaran.html
-----------------------------------------
Berita ini dibuat setelah sebelumnya sudah lama sekali tidak nulis berita feature. Berbicara dengan pak Syawal jadi mengingatkan kembali manusia bukan apa-apa dan tak ada yang perlu disombongkan. sekilas tampak dia lemah, tak bersemangat serta cenderung pasrah. Tapi inilah wajah-wajah sebenarnya rakyat jelata. Dosanya mereka tak pernah mau bermimipi untuk menjadi maju, tragis.
Tapi yang paling dibanggakan justru mugkin jarang dimiliki para pemimpi manapun, yaitu tunduknya dia pada takdir. Jika seorang pemimpi cenderung menolak apaun takdir yang buruk baginya tapi tidak dengan bapak syawal.Bahkan jika memang tuhan ingin mencabut nyawanya sekarang diapun rela. bagaimana dengan pemimpi? mana mau dia menyerahkan nyawanya sebelum mimpinya terwujud!!
saat itu tengah hari bolong, di bawah panas menyengat ku dampingi dia yang sibuk memaku kayu-kayu kecil untuk dibuat keranjang. Penghasilannya saat itu kecil sekali, yang buat gregetan di tengah ekonomi menjepit anaknya tetap banyak. itu dosa kedua bagi rakyat jelata
Tapi berbeda dari rakyat miskin yang malas dan kerjanya hanya meminta. pak Syawal beda. Dia tergolong rajin bekerja sampai-sampai keluarganya harus menjemputnya jika dia pulang lewat tengah malam. Di tengah asap rokok yang dia hembuskan kuat-kuat seolah-olah cerita itu menjadi asa yang terbang dibawa udara. Bicaranya enteng tapi tampak sekali dia memendam rasa kecewa di hidupnya. Mana ada orang mau hidup susah begitu??
Lalu mau apa? protes ke tuhan? sudah ku bilang dia bukan tipikal orang seperti itu. Meski seberapapun dia tidak suka para preman memintainya uang dan mengancam membunuhnya. Dengan santai menjawab, "kalau memang saya harus lewat ya mau apa, palingan anak saya jadi yatim" .......
Kalau sudah begitu, rasanya ada beribu paku yang menghujam hati. Kita yang selama ini terus mengeluh betapa sulitnya hidup lantaran masalah pekerjaan, putus sama pacar, atau berantem sama temen mau jawab apa???
Memandanginya lama, kerasnya hidup buat dia begitu tegar dan sekali lagi bercermin masihkah kita mengeluh dengan hidup kita yang tergolong enak, sedangkan banyak orang di luar sana yang harus berjuang hanya untuk bisa melanjutkan hidup mereka.
Pekerjaannya memang dari merah putih, yang notabenenya untuk membangkitkan nasionalisme Indonesia. Tapi tanah air tidak memihaknya atau (belum) memihak padanya
Comments
Post a Comment