Sudah lama saya menantikan perjalanan ke Baduy. Penasaran. Itu yang paling menggerakan hati saya itu bisa ke sana. Ya penasaran, seeksotis apa suku ini sampai tersohor begitu….
Banyak selintingan cerita sebelum mengunjungi
Baduy. Banyak teman yang menakuti kalau daerah Baduy Dalam masih kental dengan
hal-hal mistis.
“Kalau ada orang sana yang suka dengan kamu
bisa-bisa kamu enggak bisa pulang.” Kata salah satu teman wartawan.
Belakangan malah saya diwanti-wanti untuk enggak
menatap mata orang-orang itu. “nanti kena magic” kata bekas teman kampus.
Atau yang teranyar ada yang bilang, “Selepas kenal dengan orang
Baduy Dalam, mereka bisa menemukanmu dimanapun berada,”
Sempat begidik memikirkan selentingan itu,
tapi sekaligus membuat saya makin penasaran.
Saya ikut open trip yang digelar teman,
satu teman kampus saya gandeng sebagai patner karena tahu akhir-akhir dia
keranjingan traveling, maklum ketularan saya
Sabtu itu kami berkumpul di stasiun Tanah
Abang untuk menuju stasiun Rangkasbitung. Kami naik kereta ekonomi yang semakin
lama semakin nyaman karena tak ada lagi orang berdagang bolak-balik atau
kepulan asap rokok. Terima kasih Pak Jonan hehehe…
Di sana kenalan dengan beberapa teman ada
fotografer, ada yang newbie baru pertama-tama ikut traveling, ada juga anak
kota yang belagu setengah mati, ada juga yang suka merepet sampai saya merasa
kepepet dan akhirnya diam saja. Hahahaha…
Ya, itulah traveling dan ikut open trip
bisa bikin kamu makin banyak ketemu jenis orang-orang ajaib. Saya makin penasaran
apa jadiya orang-orang ini kalau terdampar di suku pedalaman. Angan saya
mengambang dan terbang kemana-mana.
Baiklah, sudah sampai. Ternyata ada rencana
baru. Si leader mengatakan akan membeli ikan asin sebagai buah tangan. Katanya,
orang-orang Baduy gemar makan ikan asin. “Oh gitu, pantesan kita dipesan untuk
membawa ikan asin,”. Usut punya usut Rangkasbitung juga terkenal sebagai daerah
penghasil beragam ikan asin.
Saya pun semangat ikut untuk menengok
sebentar pasar Rangkasbitung yang terkenal dengan ikan asinnya. Benar saja, bau
anyir ikan asin langsung menyergap ketika sampai. Oh ya, pasar adalah salah
satu clue paling murni untuk belajar bagaimana kehidupan masyarakat di daerah
itu. Jadi kalau traveling kemanapun usahakan menengok sebentar pasar di daerah
itu.
Oke sip, berkantong-kantong ikan asin sudah
di tangan dan kita siap meluncur ke desa Ciboleger, pintu masuk pemukiman suku
Baduy.
Dua elf sudah menunggu, saya lupa tanya
berapa untuk sewa satu elf ini. Sepanjang perjalanan memang kurang nyaman.
Keadaan elf saat itu penuh sesak, cuaca panas, mesin meraung ditambah asap elf
yang mengepul tak karuan.
Kami mampir sebentar untuk makan. Di sini
lapar tak lapar kita diwajibkan makan karena trekking nanti akan ditempuh
secepat-cepatnya 4 jam. Sampai di desa Ciboleger, kita sudah disambut dengan
suasana beda.
Peserta Open Trip Baduy |
Suku Baduy dalam dan luar kompak menyemut
di terminal Ciboleger. Sebagian besar mereka memang sudah bertugas menjadi
guide tapi sebagian lain berjual macam-macam barang. Mulai dari madu sampai
tongkat untung trekking.
Sebelum trekking kita sempatkan shalat
dulu, memohon agar perjalanan lancar. Sempat khawatir karena mendung
menggantung dan hari akan hujan, yang saya tahu kalau benar-benar hujan jalan
akan licin dan lumayan bahaya kalau trekking.
Musala di sini tidak terurus berdebu, tanda
memang masyarakat jarang shalat di masjid. Prihatin.
Yang lumayan membuat kaget
kalau mau buang air kecil, wudu, cuci atau mandi ada satu pemandian khusus
wanita. Di situ semua dilakukan bersama-sama. Heee… lumayan risih sih hehehe…
tapi byur, airnya sejuk khas pegunungan.
Siap-siap trekking dimulai, eh seorang
peserta trip lagi-lagi ingin ke toilet. Nah di sini saya dongkol setengah mati.
Wanita berjilbab plus kacamata trendi ini, minta izin ke toilet di rumah
penduduk. Salah satu penduduk pun mempersilakan, tapi tunggu, ternyata peserta ini tidak jadi gunakan kakus
penduduk. Sebab dia enggan membuka sepatu dan masuk, dan penduduk yang tadinya
ramah jadi sedikit murka karena peserta tidak sopan mau masuk rumah tapi kok
enggak mau buka sepatu.
Lagi-lagi ingat ya sopan santun dan prinsip
di mana bumi dipijak langit dijunjung. Kita ini tamu lho!
Gara-gara kejadian ini, saya sudah
bersungut-sungut dengan teman saya. Kelakuan orang kota kok malu-maluin banget.
Oke, skip! Setelah berdoa kita pun
ramai-ramai masuk ke gerbang “selamat datang di Baduy,”. Nervous! Pasti, tapi
di kanan kiri kami sudah ada Sapri dan kawan-kawna dari Baduy Dalam yang siap
jadi guide dan bawain barang. Sungguh saya enggak setuju soal bawain barang.
Rasa-rasa kok kayak kita budakin mereka.
Parahnya lagi kita seolah enjoy aja nyuruh mereka bawain barang-barang kita
yang lumayan berat. Mungkin mereka begitu karena mereka merasa akan kasih tips
ke Sapri dan kawan-kawan jadi no problem. Tapi menurut saya itu perilau enggak
pantas, khas anak kota. MANJA! Malahan yang bawain barang-barang orang kota ini
anak-anak Baduy Dalam. Tubuhnya lebih kecil dari yang punya tas, tapi kok
mereka tega ya nyuruh anak-anak ini bawain tas mereka. Geram saya tinggal lah
geram, itu seakan sudah jadi kebiasaan. Ya memang kebiasaan yang tidak
manusiawi!
Meskipun pada dua tiga jam ke depan
terbesit di pikiran untuk minta dibawain karena lelah teramat sangat, tapi
kalau melihat cucuran keringat anak-anak Baduy. Sungguh rasa tidak tega.
Pingsan, pingsan deh asal enggak ngerepotin dan buat orang lain menderita.
Sepanjang perjalanan saya sibuk deketin si
Sapri. Dibanding orang Baduy Dalam lainnya, Sapri lebih smart dan unik.
Jangankan bahasa Indonesia, bahasa inggris sampai bahasa gaul pun dia gape
benar. Saya pun dibuat takjub, segera saya gunakan kemampuan menghapal saya
untuk menyerap semua informasi dari Sapri soal Baduy. Karena saya tidak mau
traveling ini Cuma traveling biasa, harus ada ilmu yang harus saya bawa ke
Jakarta kemudian saya tulis untuk pembaca setia merdeka.com, hehehe
Tapi saya rada risih karena satu peserta
trip, saya lupa namanya, seolah gak mau kalah dia gencar deketin si Sapri dan
kerap kali memotong pertanyaan saya. Dongkol jangan ditanya, itu pasti.
Beberapa jam kemudian trekking tersama makin berat kami lewati beberapa
jembatan, tanjakan, kerikil, lengkap semuanya. Sampai kadang musti merambat,
tersungkur dan sebagainya. Setiap hampir setengah jam sekali kami istirahat.
Sampai di satu titik lutut saya benar-benar bergetar sampai tak kuat digerakkan
tapi Alhamdulilah kuncinya semangat dan kau pasti bisa melampauinya.
Yang saya salut, teman saya asal pulau
seberang ini, benar-benar kuat dan hebat. Tipe petarung sejati heheeh.
Langkahnya sigap, nyaris saya tidak saya lihat kelelahan di mukanya. Takjub!
Kembali lagi ke Sapri, Sapri membagi
ceritanya kalau dia punya niat yang besar buat belajar. Di sakunya sudah ada
buku cara belajar bahasa Inggris. Ternyata rajin jadi guide dan turun gunung
jualan madu buat Sapri menyerap pengaruh luar lebih banyak. Tak ayal kemampuan
interpersonalnya lebih baik, humoris dan rada alay hahaha… dia pun kerap kali
diminta jadi ‘pajangan’ budaya orang-orang kota yang mau memperkenalkan Baduy.
Ya, mungkin Sapri bukan lagi orang Baduy Dalam sepenuhnya. Bahkan di suatu
malam dia pun mengaku memegang hape. Lagi-lagi saya dibuat geleng-geleng
kepala. Sampai dia akhirnya memaksa saya berjanji memberinya buku untuknya belajar.
Meski menyalahi aturan adat, saya selalu menyerah kalau ada seseorang yang
bertekad belajar, pasti saya dukung sepenuhnya. Sayang buku yang saya titipkan
rupanya tidak pernah sampai kepada Sapri.
Sapri-sebelah kanan foto |
Masuk ke wilayah Baduy Dalam gerimis turun,
jalan yang tadinya terang menjadi gelap lantaran pepohonan semakin lebat dan
cahaya matahari malu untuk menyelinap di antaranya. Sepatu saya makin tidak
bisa diharapkan, alasnya semakin panas dan licin. Segera saja saya lepas sepatu
saya, mirip orang Baduy saya pun bertelanjang kaki. Kalau mereka bisa masa saya
tidak bisa. Eh, keputusan berdasarkan ego terkadang memang tolol, tajamnya
kerikil pun sudah gemar menusuk2 kaki hahaha. Sempat menjerit tapi akhirnya
terbiasa juga.
Salah satu view Baduy Luar |
Di belakang saya wanita tambun tampak ngos
ngosan, jalannya pun terpincang-pincang. Berkali-kali dia mengeluh tidak
sanggup lagi meneruskan perjalanan yang tinggal seperempat jalan. Saya bersama
beberapa teman memutuskan menemaninya mengobrol sambil berharap dia akan lupa
kalau dia mau menyerah. Dan tada! Kami berhasil, jalan sejak pukul 14.00 kami
tiba menjelang magrib. Di dusun yang berhimpitan itu sudah ramai orang. Para
pelancong tampaknya memang baru benar-benar sampai. “mana penduduknya ni?” tanya
saya. Saya diarahkan ke rumah saudaraya Sapri. Saya lupa apa nama keluarga
tempat saya tinggal. Tapi si bapak tinggal dengan istri dan dua anaknya. Satu
anak perempuan tanggung dan satu anak laki-laki yang masih kecil.
Tubuh saya sudah basah dengan keringat,
kaki pun kram. Saya sampai lupa kalau saya belum buang air kecil sedari tadi.
Semua yang berhubungan dengan aktivitas kakus dipusatkan di satu sungai. Ada
sungai untuk laki-laki dan perempuan begitu. Hari sudah gelap, semula daerah
ini diharamkan memakai alat-alat elektronik, tapi sepertinya senter tidak
termasuk. Aneh. Dusun ini benar-benar mirip pasar, dibanding penghuni asli Baduy
Dalam lebih banyak pengunjungnya. Saya pun gemas karena fenomena ini membuat
Baduy Dalam secara ekosistem sosial rusak.
Perjalanan pulang dari Baduy Dalam |
Dengan pikiran seperti itu saya berjalan
menuju bibir sungai. Semua peserta trip sudah ribet bagaimana mandi atau pipis
yang paling pas supaya tidak membuat lelaki ngiler hahaha… Berbekal senter para
wanita sibuk menginstruksikan bagaimana dan dimana mereka harus pipis, mandi,
cuci muka dan gosok gigi. Tak jarang mereka benar-benar membawa berbagai hal yang
mencemari sungai. Lagi-lagi saya mengurut dada. Orang kota!
Kedongkolan saya makin memuncak sama
peserta trip orang-orang kota yang enggak tahu sopan ini. Saat hendak bersantap
malam, tuan rumah sudah sigap memasak mie, nasi, ikan asin dan lain-lain. Tapi
si orang kota ini malah ribet pakai berbagai jenis autan, lotion atau apalah
saya tidak mengerti. Saat itu cuma ada saya dan seorang teman yang mencoba
membantu keluarga kecil ini memasak dan
menyiapkan makan malam. Sampai suatu kebodohan orang kota lain dengan tololnya
bertanya “Di sini gak pernah kebakaran ya, soalnya penerangannya lilin gitu?”.
Dengan wajah tak berdosa wanita kutukupret
ini bertanya, dia tampaknya bener-bener bodoh atau tidak sopan saya tidak mengerti.
Si ibu yang tidak fasih benar bahasa Indonesia melongo, dan teman saya yang
biasa mengartikan ke dalam bahasa Sunda terdiam. Saya buka suara “Kadang-kadang
kita harus perhatikan apa yang kita mau tanyain,” ucap saya tegas. Dia pun
diam. Perlu diketahui, pertanyaan macam ini sensitif dan bagi sebagian orang-orang
daerah bencana adalah bala yang kaitannya sangat erat dengan nilai budaya dan
sosial.
Keadaan desa juga makin tidak kondusif
dengan banyaknya pedagang lalu lalang. Dusun Baduy Dalam ini lebih mirip desa
wisata ketimbang desa budaya. Tapi entah kenapa, saya melihat tidak ada rasa
kesal atau benci terhadap para pendatang ini di mata orang asli Baduy Dalam. Saya
benar-benar tidak tahu, atau mereka telah mereguk nikmatnya rupiah dari kantong para
pendatang. Tetiba saya jadi merasa benci dengan tour leader saya, yang
berkontribusi merusak tatanan kehidupan asli Baduy Dalam.
Saya sama sekali tidak merasa berada di
suku pedalaman kalau seperti ini. Risaunya saya, saya usir dengan memainkan
rambut si anak perempuan pertama. Rambutnya panjang dan halus padahal dia tidak
memakai sampo apapun dan airnya juga cuma air sungai yang dipakai bareng dengan
cuci kakus. Saat itu saya ingin membelikannya jepitan kupu2. Dia pasti cantik.
Dia hanya tersenyum malu saat saya belai lembut rambutnya. Kami tidak
berkomunikasi karena kendala bahasa, hanya bisa bertukar senyum
Si pemilik rumah tidur di ruangan dalam.
Sementara kami para perempuan tidur berjejer dengan alas tikar. Saya benar
terlelap karena kelelahan ditambah betis yang nyut nyutan tak karuan. Sampai suatu
ketika saya dibangunkan oleh peserta trip yang ketakutan karena lilin
dimatikan, dia panik. Beruntung si bapak sigap menyalakan kembali lilin meski
rasanya tidak diperkenankan lilin menyala di waktu malam. Lagi-lagi tuan rumah
dengan senang hati melayani. Suara lolongan anjing membuat saya makin terlelap,
meski beberapa kali saya ngedumel kesal karena terdengar suara dering hape di
antara jangkrik-jangkrik yang bersuara . “Sialan” kutuk saya.
Esok paginya setelah solat subuh kami
berjalan-jalan, ditunjukannya rumah si kepala desa dan sesepuh yang katanya kalau
kita mendekat bisa kena tula. Tibalah waktu kami harus pamitan, perjalanan
pulang berbeda dari track masuk Baduy Dalam. Lebih basah, karena harus melewati
beberapa aliran air namun pemandangannya jauh lebih bagus. Perjalanan pulang
lebih santai. Kami berfoto di jembatan akar, dan saya masih dendam dan menandai
beberapa orang kota yang tidak sopan. Mendadak waktu pulang saya lebih judes
dari biasanya gara-gara ketololan orang-orang kota. Hahaha. Saya sempat senang
karena beberapa orang kota yang brengsek itu sakit dan ada juga yang kakinya
tercebur got. Mungkin saya jahat tapi alam dan tuhan memperlakukan mereka
dengan adil toh.
Baduy Dalam makin kehilangan jati dirinya
saat anak Baduy Dalam dengan lancar minta “coca cola” karena dia haus. Hah! Ya,
semakin banyak mereka mendapat kunjungan semakin tercemar pula mereka dengan
pengaruh orang kota. Saya berdoa semoga mereka gak sebrengsek orang kota yang
berkunjung ke rumah mereka. Ya saya berdoa, saya berdoa.
Comments
Post a Comment