Perjalanan ke Yogyakarta kali ini disponsorin oleh Mabes Polri-Polda Yogya, jadi mau tak mau suka tak suka, harus ikut kemana pelayanan dari Polda Yogya. Sebelum berangkat sudah banyak terpikir kalau Yogya baru-baru ini banyak ditemukan surga tersembunyi, seperti Goa Pindul dan beragam pantai yang Indah. Tapi pas lihat agenda dan rundown, jeng jeng… langsung lemes karena enggak ada wisata alam sama sekali.
Maka dari awal sudah melancarkan strategi
dan akal bulus supaya gimana caranya bisa mereguk keindahan alam Yogya, tapi
akhirya enggak berhasil karena alasan jauh. Lion Air selaku sponsor Polri pun
terbang,
Sampai di Yogya kita sudah disuruh liputan
beragam formalitas keberhasilan Polda Yogya. Ok dan bla bla bla, saat itu yang
mencolok saat Polda Yogya menyergap penjual anak di bawah umur yang mengenakan
seragam tahanan batik hehe… namanya juga kota budaya.
Saya akan cerita dua tempat yang saya
kunjungin di sana bersama temen-temen jurnalis. Pertama kita kunjungan ke Borobudur.
Salah satu situs budaya Unesco ini sepi,
dan saya senang bukan kepalang berarti foto saya enggak bakal banyak keganggu
orang-orang lalu lalang. Saya sudah lama tidak ke situs ini, lagi ada pemugaran
tampaknya. Dan, saya merasa dulu sewaktu saya pertama kali ke sini, tidak
seramai sekarang ini. Dulu posisi Borobudur dalam ingatan saya seperti mengumpat
di balik rindangnya pepohonan.
But see, sekarang everything has changed.
Borobudur terbuka, di sekelilingnya menuju Borobudur sudah banyak pemahat yang
sibuk menjajakan karyanya, jalanan ramai dan ugh, memang tidak seperti dulu.
Di sana saya sibuk cari-cari mana angle
menarik , dan hasil jeprat jepret saya, saya tunjukan ke teman dari media
Indonesia dan dia percayain saya jadi fotografernya. Kalau mau sombong meski
saya tidak pake kamera dslr yang lensanya macem-macem, saya tetep bsa foto dengan
amat menarik dan indah. Saya Cuma rajin cari angle bagus, padahal cuma pake
kamera poket. Mungkin karena sering latihan juga dan traveling hehe..
Akhirnya kita berdua bak model dan
fotografer, berdua memisahkan diri demi foto2 bagus heheh..
Pemandangan di Candi Borobudur |
Dan memang Borobudur sedang dipugar, tidak
banyak juga wisatawan asing di sini. Karena semua terburu-buru, jadilah kita gak
bisa eksplor lama2 di Borobudur, padahal klo sampai sore mungkin bisa lihat
sunset di sini katanya bagus kan…
Pulang dari Borobudur,
malamnya kita ke candi Prambanan, untuk nonton sendratari. Alunan musik khas Yogya
menyambut malam yang hening itu.
Dan ketika kami
masuk arena VVI 2, wah! Bulan penuh sudah menyala, berdampingan dengan kokohnya
candi Prambanan . Malam itu, sungguh khitmad
dan rasa-rasa mistis gitu. Aneh.
dan rasa-rasa mistis gitu. Aneh.
Sendratari Rama Shinta di Candi Prambanan |
Ternyata untuk dapat tempat strategis ini biayanya cukup mahal sampai ratusan ribu, glek! Untung saya dibayarin. Ini pertama kalinya saya nonton sendratari jadi lumayan excited. Trus tanya-tanya sama bu kabid, soal cerita yang dipentaskan dan saya bingung karena semua full bahasa Jawa. Saya pun minta supaya saya bisa dapat resensi pertunjukan apa yang akan diceritakan.
Dengan sigap bu Kabid
langsung menyuruh bawahannya mencari resensi cerita sendratari, ga perlu lama
10 menit resensi sendratari sudah di tangan. Memang klo bareng polisi itu
hehehe..
Ternyata kali ini sendratari berkisah
tentang Rama dan Shinta dan bla.. bla hehehe… sendratari didukung oleh tata
lampu yg apik dan pemain yang tak kalah bagus dengan pemain dari luar negeri mungkin…,
Ada juga monitor yang menampilkan
penjelasan babak demi babak dalam bahasa Inggris dan Indonesia. saya bergumam
ternyata ini sudah dikelola secara professional. Bangga!
Saya terpukau dengan lantunan musik dan
tarian lembut yang disajikan, lalu saya tengok sebelah… si ibu kabid sudah
menguap, kekelahan dia rupanya. Lalu saya tengok sebelah kiri, hal serupa
kembali terjadi. Rasanya semua kompak menguap. Pikiran positif sih bilang
mungkin mereka kelelahan, tapi pikiran’ negatif masuk lalu berbisik, “gini nih
org Indonesia ga ada apresiasi sama kesukaan sama budaya sendiri ,padahal
pertunjukan sudah keren begini,” saya saja yang lagi kebelet pengen ke toilet saya
tahan-tahan karena gak mau melewatkan sedetikpun menjepret tanpa bliz dan menikmati
babak demi babak.
Sampai sejam berlalu dan waktu istirahat
tiba, heran juga ada waktu istirahatnya hahah ternyata pertunjukan akan
dilanjutkan lagi, padahal sebelum istirahat lagi ada bakar-bakaran hanoman hahaha seru!
apinya serius beneran, keren!
Waktu istirahat dimanfaatkan buat buang air
sekalian ada sesi foto-foto sama penarinya. Tapi penarinya kurang welcome gak
kyak penari-penari Bali yang ketahuan klo mereka senang dengan pekerjaannya dan sambutan
penonton.
Pimpinan Mabes merengek pengen pulang karena
dia mengaku ngantuk dan capek… ya kaliiii… saya cukup sebel karena tipe orang ini
gak suka jalan2 dan lebih milih banyak di mess yang menyebabkan kita gak bisa
kemana2 karena nurutin dia.. pihhhh
Ternyata dari sini kita gak langsung
pulang, karena ada acara makan2 di Malioboro, beuh macet bray…mungkin saya
enggak adil klo bandingin mailboro sekarang dengan zaman saya masih SMA, beda banget
emang. Sekarang kayak pasar Blok M, mirip, serius! Meski banyak lesehan tapi ramenya
ampun-ampunan dan pikiran mengenai Yogya sebagai kota budaya makin memudar.
Kami langsung menuju lesehan Terang Bulan
yang rame banget tapi karena posisi polisi jadi pelayanan kita didahuluin dan
tempat juga sudah di-reserve heheh aneh ya di lesehan bisa di-reserve. Makanan
di sana emang gak ada duanya, klo boleh bawa ke mess saya bawa deh, karena burung
daranya enak bgt. Garing gurih pokoknya sedap deh hehehe….
Acara makan di Terang Bulan |
Pikiran saya soal hilangnya identitas Yogya
sebagai kota budaya makin saya rasakan saat saya melihat hiruk pikuk kota ini
pagi hari, bahkan tidak ada keramahan yg saya rasakan di sini, entah kenapa ya.
Aneh…hal ini tentu berbeda kalau kalian mengunjungi Yogya 5 tahun tahun saja ke
belakang, pasti benar-bener terasa deh betapa damainya kota ini tanpa ada modernisasi
yg tidak berarti huhuu… saya terus berharap mungkin karena kelapaan saya
sehingga belum melihat Yogya sesungguhnya seutuhnya.
Comments
Post a Comment