Sudah beberapa tahun gw gak ke Bandung. Gw pun bukan orang
Bandung yang setiap minggu biasanya balik. Kunjungan ke Bandung kali ini
terkait seminar internsional linguistik di Universitas Padjajaran di Dipatiukur
yang berada di bawah pepohonan rimbun, sejuk rasanya.
Saya tiba malam hari di Diaptiukur tanpa memesan hotel
terlebih dahulu. Berniat menginap di sekitar kampus, tapi ternyata harga hotel
lumayan gak bersahabat mulai dari 300 ribu per malam. Di tengah keputusasaan
saya mengeluh dan bercerita ke seorang ibu kaki lima. Keberuntungan menghampiri,
dengan baik hati ibu tersebut merekomendasikan sewa kos yang letaknya masuk ke
dalam gang-gang tak jauh dari tempat seminar gue. Dengan harga Rp 90 ribu per
malam.
Esok paginya seminar dimulai, di Dipatiukur jangan takut
kelaparan karena jajanan menjuntai sepanjang jalan ayam bakar, mie ayam, bakso
dan lain-lain, maklum markas anak kampus. Saya mengikuti setengah dari seminar
tersebut, kenapa? Padahal sudah jauh-jauh dan mahal. Karna narsumnya menurut
saya kurang kompeten beberapa orang dan membosankan. Jadilah saya yang bertemu
dengan junior mendadak, cabut dari ruang seminar dan menjelajahi Kota Bandung. Jangan ditiru ya.
Jalan Baraga
Dimulai dari Jalan Baraga atau Kota Tuanya Bandung. Saya
sudah lupa sebenarnya Braga itu seperti apa banyak yang bilang makin cantik
gara-gara Ridwan Kamil kalau sudah malam rata-rata di Braga sepi terkait aturan
dari walikota. Sepanjang Braga teman saya bercerita kalau beberapa toko tua
tutup karena bangkrut tetapi juga banyak yang bertahan kayak toko es krim
citarasa kolonial-Sumber Hidangan. Beda dengan toko ice cream lain yang menunya
udah green tea-an di sini mah ice creamnya bener-bener masih original gak ada rasa
macem-macem tapi rasanya tetap enak seolah memgembalikan kita pada sesuatu yang
sederhana namun tetap terasa nikmat. Yang bagusnya juga arsitekturnya
dipertahankan sedemikian rupa.
Toko Ice Cream Sumber Hidangan |
Di sepanjang Braga juga banyak para seniman jalanan yang
menjajakan dagangannya. Mulai dari seni lukis, sketsa dan lain-lain. Di
sepanjang Braga ini juga nyempil beberapa motel yang dalam kasat mata ini hotel
kayak hotel esek-esek gitu. Ups! Yang tampak kentara juga bangunan tua Antara,
teman jurnalis saya pernah mengatakan bahwa enggak ada yang mau berlama-lama di
gedung ini kalau malam karena suka ada penampakan hahahah.... Yang lainnya juga
ada beberapa hotel peninggalan Belanda kayak Savoy Homann Hotel sampai akhirnya
nyampe ke Gedung Merdeka atau Gedung Asia Afrika.
Kota Tua Bandung |
Karena masih euforia Asia Afrika jadi masih banyak ornamen
dan pernak pernik tokoh-tokoh Asia Afrika berikut bendera-benderanya. Jadi
enggak mau nyia-nyiain kesempatan dong buat ngelakuin selfi. Jalan terus kita
akan ketemu Masjid Agung Bandung yang di bagian depannya sudah terhampar
lapangan hijau mirip karpet yaitu Alun-alun Bandung. Meski panas menyengat warga Bandung antusias lari-larian di
alun-alun, apalagi masuk ke alun-alun musti lepas sepatu jadi aman deh
anak-anak guling-gulingan.
Masjid Raya Bandung |
Alun-alun Bandung |
Satu yang saya sadari, memang Ridwan Kamil sudah sukses
menyulap wajah Bandung menjadi lebih ciamik. Yang terpenting mengubah psikologi
warga Bandung untuk bangga terhadap kota mereka. Pantas saja mereka enggan
melepas walikotanya untuk jadi gubernur
Jakarta.
Comments
Post a Comment