Desa Adat Sangeh-Pelestarian Alam Dibalut Kepercayaan

Hutan Sangeh, Bali merupakan salah satu hutan wisata yang patut dicontoh pengelolaannya. Pengelolaan dan pelestarian yang melibatkan masyarakat ini, mampu membuat hutan ini terjaga hingga berabad-abad lamanya. Hutan Sangeh adalah hutan yang pengelolaannya dipegang oleh Desa Adat Sangeh. Sebagaimana Desa Adat lainnya, terbentuknya Desa Adat Sangeh bertujuan untuk  menangani urusan manusia dengan Tuhan atau para Dewa.  Di dalam Desa Adat dipimpin oleh Klihan Adat atau Bendesa Adat dengan beberapa pembantunya. Para pembantu Klihan disebut dengan Prajuru Desa Adat. Selain itu ada juga sebutan Krama Desa Adat untuk warga yang telah berumah tangga. Dalam Desa Adat dibagi lagi menjadi Banjar Adat atau satuan komunitas kecil yang dikepalai oleh Klihan Banjar Adat.
Wisata Desa Sangeh

Di dalam desa ini terdapat cagar alam hutan Sangeh yang telah dijaga sejak zaman Belanda pada abad XVII. Hutan seluas 9,8 hektar ini ditinggali beraneka satwa, dengan satwa dominan adalah kera. Sejalan tranformasi Bali menjadi kota wisata maka masyarakat turut menjadikan cagar alam ini menjadi salah satu objek wisata di Bali. Tidak seperti tempat wisata lain, meski dijadikan obejek wisata, hutan ini telah dianggap keramat sejak dahulu kala. Mereka percaya hutan ini adalah hutan tempat tinggal dewa, apalagi di dalamnya terdapat empat pura, yaitu Pura Bukit Sari, Pura Melanting, Pura Tirtha dan Pura Anyar. Mereka juga percaya jika mereka mengganggu dan merusak hutan ini, mereka akan dihukum dewa meski akibatnya tidak dirasakan secara langsung. Masyarakat Desa Adat Sangeh juga percaya tumbuhan pale yang tumbuh di sana adalah pohon suci. Sebab kayu pale adalah kayu khusus untuk memperbaiki pura milik Desa Adat Ssngeh. Bau harum pada kayu ini menjadi simbolik kesuciannya yang keharumannya juga ada pada pohon cendana, majegan, suren, menengan. Oleh karena itu, pemanfaat kayu ini sangat dibatasi mereka tidak dibenarkan menebang pohon tersebut.  Jika mereka menginginkan kayu tersebut mereka akan melakukan upacara ritual Nunas agar dewa berkehendak memberikan kayu pale. Jika dewa setuju, maka kemudian akan ada pohon tumbang. Kepercayaan seperti ini mencegah masyarakat memakai kayu ini secara sembarang untuk pura pribadi mereka atau rumah mereka sendiri. 

Hutan di Desa Sangeh

Selain pohon pale, warga juga diberi kesempatan untuk memanfaatkan hasil lain dari pohon pale yaitu buah pale dan kulit pale. Kedua sama-sama digunakan untuk ritual keagamaan. Namun lagi-lagi masyarakat tidak boleh sengaja memetik dan menguliti buah dan kulit pale bahkan memotong ranting, mereka hanya boleh memungut dan mengambil buah, kulit dan ranting yang jatuh ke tanah. Sama halnya dengan pohon pale, hal ini dilakukan agar dewa tidak marah. Para pengguna buah, kulit dan ranting ini hanya diperuntukan kepada masyarakat pengikut dewa yang bersemayam di hutan Sangeh yaitu masyarakat Desa Adat Sangeh. Selain tumbuhan pale, kera yang mendiami hutan tersebut juga dianggap sama sakralnya. Kera atau yang disebut dengan bojog duwe (kera milik dewa) ini sering kali mengganggu tanaman warga namun tak banyak yang dilakukan warga. Mereka tidak pernah menyakiti atau membunuh kera-kera tersebut karena takut mendapat sanksi dari dewa. Hal ini dikuatkan dengan cerita gaib yang menyebut siapa pun yang menyakiti kera hutan Sangeh akan mendapat malapetaka. Untuk menanggulangi dimakannya padi-padi milik petani, upaya maksimal yang mereka lakukan adalah hanya menjaga sawahnya dari pagi sampai sore. 
Monyet di Desa Sangeh
Selain kepercayaan, beberapa aturan pemerintah dalam hal ini Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) juga ikut berperan dalam menjaga kelestarian hutan wisata Sangeh. Apalagi sejak pemerintah Hindia Belanda menetapkan hutan ini sebagai cagar wisata kemudian status ini terus dipertahankan pemerintah Indonesia. Salah satu contoh peraturan yang dikeluarkan BKSDA adalah larangan mengambil ranting pohon pale yang jatuh ke tanah. Ini dilakukan agar proses alami untuk kesuburan pohon pale bisa tercapai. Masyarakat Sangeh dapat menerima aturan ini karena mereka tidak melulu tergantung sepenuhnya dengan hutan wisata Sangeh. Apalagi ketika mereka sadar peraturan tersebut untuk menjaga kelestarian hutan Sangeh. Selain itu, mereka juga memandang hutan tersebut penting dalam memasok air bagi Subak Sangeh. Sebagai objek wisata, hutan wisata Sangeh digolongkan ke dalam objek wisata sedang dengan jumlah pengunjung lebih dari 100.000 orang per tahun. Dijadikannya tempat ini menjadi objek wisata membuat masyarakat Desa Adat Sangeh harus terjun langsung mengelola hutan mereka. Masalah ini berada di luar peranan Desa Adat Sangeh maka mereka menambah orang baru untuk masuk ke dalam Seksi Pengelola Objek Wisata. Mereka yang bertanggung jawab terhadap Parjuru Adat mempunyai tugas menyediakan dan membangun fasilitas objek wisata, mengatur dan membagi lokasi kios, menerima dan menjaga keamanan tamu, mengelola keuangan, dan menjaga kelestarian Hutan Wisata Sangeh. Pemanfaatan dan pengelolaan hutan ini sepenuhnya untuk kesejahteraan warga Desa Adat Sangeh. Mereka juga banyak membuka usaha foto polaroid hingga membuka kios. Namun untuk mengatur hak tersebut mereka membentuk awig-awig (peraturan), jika melanggar mereka dikenakan teguran, denda sampai pemberhentian.  

Keterlibatan warga Desa Adat ikut membuat pendapatan desa mereka bertambah. Uang hasil wisata ini kebanyak mereka pakai untuk memperbaiki pura yang rusak dan biaya penyelenggaraan ritual atau membantu warga desa yang membutuhkan. Namun pembukaan hutan ini sebagai objek wisata juga memberikan beberapa kerugian, seperti sulit mengendalikan wisatawan serta masalah sampah yang mereka hasilkan, untuk itu SPOP dikerahkan untuk melakukan pengawasan. Selain itu, masyarakat desa diinstruksikan untuk membersihkan hutan secara berkala. Tak ketinggalan pemberian pakan secara teratur terhadap kera yang menjadi daya tarik wisatawan serta memperhatikan faktor keamanan untuk pura yang berada di hutan atau kios-kios di sekelilingnya. 

Di tahun 1973, BKSDA mencoba mengambil alih hutan wisata Sangeh, dengan dasar hukum, hutan tesebut adalah cagar alam yang secara yuridis milik negara. Tentunya hal tersebut ditentang masyarakat Desa Adat Sangeh dengan alasan mereka bisa kehilangan pendapatan dan juga mereka tidak rela pura-pura di dalam hutan dikelola oleh orang luar. Terjadi beberapa gesekan ketika BKSDA mengirimkan petugasnya tanpa izin ke hutan tersebut. Akhirnya pihak Desa Adat melaporkan hal tersebut ke gubernur Bali agar hutan ini tidak berpindah tangan. Gubernur kemudian memutuskan pengelolaan tetap berada di Desa Adat Sangeh sedangkan BKSDA menangani pengawasan hutan ini secara teknis. Gubernur memandang Desa Adat Sangeh telah mampu menjaga kelestarian hutan tersebut. Keputusan gubernur ini akhirnya diperkuat dengan keputusan menteri kehutanan yang mengubah status cagar alam menjadi hutan wisata.  

Komentar 
Hutan wisata Sangeh mungkin bisa dijadikan contoh bagi pengelolaan dan pemeliharaan hutan lainnya. Namun kesadaran untuk memelihara hutan Sangeh berasal dari kepercayaan yang dimiliki Desa Adat Sangeh. Kepercayaan terhadap dewa yang menghuni hutan tidak dipegang oleh budaya lainnya di luar Desa Adat Sangeh, Jika sudah begitu satu-satunya jalan bergantung dari usaha pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan. Terlebih lagi hutan merupakan sumber materi yang amat menggiurkan maka tanpa kepercayaan, masyarakat hedonis dan materialistis bisa saja mengeksplorasi hutan secara besar-besaran. Lalu pertanyaannya kini bagaimana menanamkan kepercayaan terhadap hutan? Mungkin yang bisa dipelajari dari Desa Adat Sangeh adalah membuat warga sekitar hutan merasa memiliki hutan, bahkan tanpa adanya kepercayaan mistis. Itu bisa dilakukan dengan cara mengikutsertakan masyarakat dalam kegiatan kehutanan dan tentunya, lagi-lagi peran Kementerian Kehutannya menjadi amat penting. 

Apalagi kontribusi ini harus disertai dengan penyejahteraan masyarakat sekitar hutan. Sehingga kemungkinan untuk mengelola hutan secara sembarangan bisa dihindari. Sebab mereka tidak menginginkan hutan yang merupakan sumber pendapatan dan kesejahteraan mereka hilang. Permasalahan yang sama mungkin bisa ditemui ketika hutan tersebut dijadikan cagar alam atau hutan wisata. Wisatawan yang datang dari kebudayaan dan latar belakang berbeda amat mungkin merusak hutan. Jika tanpa kepercayaan dan mengutamakan faktor kesadaran manusia, hal ini memang akan terasa lebih sulit. Apalagi kebanyakan orang lebih suka mengambil untungnya tetapi enggan merasakan ‘pahit’nya menjaga hutan. Untuk itu aturan tegas dari pemerintah menjadi perlu. Peraturan ini tidak hanya ditujukan bagi para wisatawan juga untuk masyarakat sekitar. 

Comments