Ini Beda Erotisme & Pornografi

Erotisme dan pornografi masih menjadi hal yang tabu bagi sebagian masyarakat Indonesia yang menganut adat timur. Namun sesungguhnya dua kata tersebut amat jauh berbeda. Erotisme dalam berbagai definisi disimpulkan berkaitan dengan libido atau mengarah pada keinginan seksual. Sedangkan pornografi lebih menonjolkan penggambaran tingkah laku seksual dengan tujuan membangkitkan nafsu seksual. Yang patut diperhatikan juga, erotis dan pornografi saling kait mengkait karena sama-sama merujuk pada libido atau hasrat. Yang pasti tidak semua yang erotis itu pornografis tapi dalam pornografis selalu ada erotisme.
Satu hal perlu dicermati dalam penyajian karya yang memuat nilai erotisme yaitu kebudayaan para pembacanya. Sebab nilai erotisme bisa dimaknai luas ataupun sempit sesuai kebudayaan di tempat dan waktu tersebut. Sebagai contoh, Karya Sade (1740-1874) yang menggambarkan banyak adegan seks sadis. Sade mengatakan penggambaran itu dilakukan sebagai reaksi terhadap kehidupan sosial budaya yang terlalu dikekang dan diatur pada abad ke-17.


Di lain pihak juga, erotisme juga bisa dipandang dalam segi kebahasaan atau yang disebut dengan teks erotis. Lebih jelasnya, teks erotis adalah tindakan, keadaan dan suasana yang menggambarkan hasrat melalui kata-kata. Teks erotis dibagi menjadi dua yaitu teks erotis yang dipandang dari segi teks dan teks berdampak erotis yang dipandang dari dampak teks erotis. Dampak teks erotis erat kaitannya dengan teori semantik dan paradigmatik.

Pemberian makna teks erotis bisa dilalui dengan dua cara dalam semantik yaitu dengan cara konvesional dan situasional. Secara konvensional adalah dengan jalan pragmatik, sedangkan secara situasional bergantung pada komunikasi. Sehingga tak jarang novel, berita dan sebagainya menggunakan metafora agar tidak terlalu mentah atau menyinggung pembaca. Namun metafora inilah yang memunculkan beragam penafsiran berkali-kali dari pembaca. Maka bukan hanya pragmatik, unsur semantik yang berada di dalam metafora tersebut meluas menjadi semiotik. Semiotik ini membuat pembaca tidak menafsirkan teks satu kali tapi beberapa kali dengan bertumpuan pada tanda.

Selain itu, Jika dilustrasikan dampak erotis terhadap unsur pragmatis adalah sebagai berikut, E (dampak erotis) ← P (situasi pragmatis). Namun struktur itu belum cukup karena untuk melengkapi penafsiran pembaca harus menyertakan pengalaman dan pengetahuannya sehingga strukturnya menjadi E (dampak erotis) ←  P (situasi pragmatik) ← p (pengalaman). Dari sini diketahui pragmatik tidak lepas dari peran serta komunikasi kebahasaanm peran konteks kebahasaan dan peran adat kebahasaan. Dalam pragmatik teks bukan hanya sekedar tuturan tapi memperlihatkan proses.

Seperti yang sebelumnya disebutkan, bukan hanya pragmatik yang mengambil peran dalam menafsirkan teks, semiotik sebagai pembaca tanda juga ambil bagian. Ada dua teori besar untuk memaparkan semiotik.  Pertama, menurut teori trikotomis Pierce, proses pemakanaan melalui tiga tahap presepsi (representamen), perujukan (objek) dan interpretan (penafsiran). Ketiganya saling berhubungan untuk menimbulkan pemakanaan atau yang disebut dengan semiotik. Proses semiotik ini tak terjadi satu kali melainkan tak terhingga atau tak terbatas. Alasannya setiap proses interpretan berkembang menjadi representasi baru.

Kedua, model dikotomis dari de Saussure dan Barthes. Saussure menjelaskan proses semiotik akibat dari penanda (significant) yang kemudian diserap oleh penerima tanda. Di saat bersamaan penanda dikaitkan dengan petandanya (signifie). Menurut Saussure penanda dipandang sebagai suatu citra akustik. Teori Saussure selanjutnya dikembangkan oleh Barthes.  Dalam model dikotomis Barthes hubungan penanda (ungkapan/E) dan petanda (isi/C) tidak terjadi satu kali tapi berlanjut. Hubungan atau relasi (R) sistem primer yang terdiri dari E1-R1-C1 berkelanjutan menjadi E2-R2-C2 atau yang disebut sebagai sistem sekunder. Sistem sekunder ini berorientasi dari ungkapan (E) dan isi (C). Jika sistem ini berorientasi pada E maka terjadi perluasan ungkapan namun isinya tidak berubah (gejala metabahasa). Sebagai contoh kata ‘senggama’ diganti dengan E lain yang isinya sama misalnya ‘berhubungan badan’ atau ‘coitus’. Sedangkan sistem sekunder berorientasi pada C atau isi yang ada adalah perluasan petanda (isi) bukan penandanya (gejala konotasi).  Seperti kata bersenggama dipeluas C-nya dengan memperhatikan rasa dan nilai seperti kegiatan ‘seks yang menggairahkan’.

Dari segi sintagmatis, teks erotis selalu dilihat segi tempat dan distribusinya dalam struktur. Ahli linguistik Jean menyimpulkan teks erotis itu adalah hasrat yang didasari dari libido.Menurut Jean, kebanyakan teks erotis itu menjanjikan sesuatu tapi tidak memberikannya. Contoh,  “dengan penuh gairah Didi mendekap Titi dan…”. Dari contoh tersebut kata-kata ‘mendekap’ adalah kata metafora yang sengaja dicantumkan agar tidak  berkonotasi seronok, kasar atau cabul.

Kembali lagi melihat teks erotis dengan pendekatan semiotik, kali ini dengan teori trikotomis Pierce. Dari teori ini kita dapat mengetahui suatu teks itu berdampak erotis atau tidak. Caranya dengan melihat teks sebagai representamen terpisah-pisah dan keseluruhan. Kembali ke contoh “dengan penuh gairah Didi mendekap Titi dan…”, jika dilihat secara sepotong-potong atau terpisah kata metafor ‘mendekap’ bisa saja dilakukan untuk memeluk bayi atau memeluk wanita dengan penuh nafsu. Semua tergantung dari pengalaman pembacanya. Dengan cara melihat secara terpisah membuat interpretasi lebih terbuka dan memunculkan berbagai kemungkinan interpretasi.

Sedangkan dengan cara melihat teks dengan menyeluruh, kita ketahui dengan jelas subjek dan objeknya berlawanan jenis. Sehingga besar kemungkinan interpretasi erotis atau berdampak erotis. Untuk memperoleh pengertian non erotis tidak bisa lagi karena secara linguistik yakni kata ‘mendekap’ sudah memberi makna erotis. Yang patut diingat proses semiotik keduanya sama-sama tak terbatas.

Berbeda dengan Pierce, Saussure menjelaskan makna teks erotis dengan sistem sekunder yakni konotasi. Sebagai contoh puisi karya Sitor Situmorang yang sekilas tampak erotis namun jika pembacanya adalah seorang guru maka guru tersebut menerangkan dari sajak-sajaknya. Berbeda dengan murid yang langsung menangkap puisi tersebut sebagai teks berdampak erotis. Selain Saussure, Eco melihat teks erotis bukan hanya bisa ditafsirkan secara bebas tapi juga dihasilkan oleh kerja sama pembacanya. Teori ini tak jauh dari teori tentang isi (C) dari Barthes.

Sumber: Mata Kuliah Teori Kebudayaan Pasca Sarjana UI
Fakultas Ilmu Budaya
Dosen Benny Hoed

Comments