Anak perahu dan pria berkaos putih



Geladak perahu berderit, ombak mengempaskannya ke kanan ke kiri. Semua penumpang tampak tegang dan berpegangan di bibir perahu.

"Perahu miring kapten!" ujar anak berumur 14 tahun itu kepada pengemudi perahu kayu.

Dengan cekatan Agus mengambil bambu untuk mengontrol goyangnya perahu. Perahu berpenumpang 20 orang ini pun stabil dibuatnya.

"Ini sih belum seberapa, waktu ke Pulau Pramuka bukan dengan kapal sebesar ini jauh lebih seram," cerita siswa kelas 2 SMP ini bangga kepada merdeka.com dalam perjalanan menuju pulau Pramuka, Jakarta (27/10)

Agus adalah satu dari puluhan anak di Muara Kamal yang mampu mengendalikan perahu atau yang kerap disebut sebagai anak perahu. Badannya kekar seolah laut membentuknya menjadi kuat, meski umurnya belumlah dewasa.

Kemampuannya memancing dan berenang juga tak perlu disangsikan. Sudah empat tahun, ia setiap harinya akrab dengan laut.

"Dari kelas 6 SD setiap pulang sekolah saya bantu ayah yang kerjanya memancing, kadang juga disuruh tetangga bantu bawa orang (di kapal)," ujarnya polos.

Baginya pekerjaan dan kesehariannya tampak normal, menurut penuturannya ada temannya yang bahkan terbilang lebih jago darinya soal menghadang ombak dan menjadi anak perahu.

"Ada teman saya dari TK sudah ikut ayahnya jadi nelayan, dia juga bisa berenang. Kalau saya waktu itu setahun tidak sekolah bantu ayah jadi nelayan," tuturnya sambil berkaca-kaca.

Upah yang diterimanya tergolong lumayan. Agus yang asli Karawang ini bisa mendapat upah hingga ratusan ribu. Saking jagonya mengendalikan perahu, para tetangga pun sering memintai bantuan meski perahu yang dibawa bukan miliknya.

"Dikasih uang tergantung jumlah orang yang dibawa bisa Rp 30 ribu sampai Rp 100 ribu. Biasanya dibawa sama tetangga. Kalau ayah sekarang tidak jaring lagi ikannya susah jadi kerja di pelelangan saja," ungkapnya sedih.

Bukan hanya perahu yang menjadi semangatnya, dari pengakuannya sekolah jadi sangat penting untuknya. Dia tak mau meninggalkan sekolah demi untuk mengantar orang ke pulau.

"Biasanya (berperahu) setelah sekolah. Rajin kok sekolahnya. Sekarang saja lagi libur," tutupnya

Muara Kamal menjadi satu dari berbagai tempat di Indonesia lainnya yang melahirkan banyak pelaut unggul. Agus menjadi salah satunya, dia pun menutup perbincangan dengan gairah melaut yang tak pernah pudar.


http://www.merdeka.com/peristiwa/kisah-anak-perahu-di-kepulauan-seribu-menantang-ombak.html

 --------------------------------

energik, sigap, ramah dan supel itu kesan pertama lihat si Agus.....
dia tak sungkan cerita apapun soal keluarga, sekolah, teman-teman dan perjalanannya. Meskipun saya tahu ketika ditanya soal kesulitan hidupnya apalagi harus sampai putus sekolah, nada bicaranya berubah tapi dia berusaha untuk tetap bersikap wajar sambil sesekali tertawa.

'anak sekecil itu sudah berkelahi dengan laut!" kalau boleh pelintir bang Iwan Fals mungkin begitu bunyinya.

Mental dan raganya dipaksa siap untuk mencari sesuap nasi. Apalagi kini ayahnya hanya bekerja di pelelangan akibat gudang ikannya sudah raib akibat kerusakan alam.

Yang lebih mengharukan lagi, ada satu penumpang pria setengah baya yang mampu menjadikan Agus lebih cair bahkan rasanya Agus mampu menceritakan semuanya ke lelaki berkacamata hitam itu. Entah darimana asalnya yang jelas saya sirik!

Ketika diperhatikan dua orang yang layaknya sahabat ini seakan tidak segan saling bertukar canda atau malah Agus tak ragu-ragu menyadarkan kepalanya ke bahu sang bapak. Meski begitu saya sejenak menikmati pemandangan itu apalagi diiringi tarian burung camar dan semilir angin.

Bapak itu tampak berada atau mungkin kaya tapi dia mampu menyulap Agus sampai terbawa dalam dimensinya, ya hanya dimensi para lelaki rasanya....

Yang jelas bukan hanya Agus dalam perjalanan kali ini ke pulau seribu, Bapak itu sedikit menyelipkan rasa haru ketika dia mampu merangkul Agus, si anak perahu. Tak peduli kaus putihnya kotor karena sandaran si Agus yang kumal. Syahdu....









Comments