Sungguh membingungkan sebenarnya fenomena budaya di masyarakat Indonesia. Apalagi jika kita mencoba mencermati dan menghadapkan permasalahan budaya tradisional, berikut konsep dan karakteristik yang dimilikinya, dengan modernisme yang hidup dan berkembang di zaman ini.
Pertanyaan muncul ketika kita tidak bisa lagi memaksakan benda dan ritual kebudayaan tradisional berterima dengan dan beradaptasi dengan teknologi dan pengetahuan yang terus berkembang.
Sebagai contoh, budaya Toraja yang mengharuskan satu keluarga menyerahkan sejumlah kerbau dan mengadakan pesta untuk bisa memindahkan jenazah anggota keluarganya dari rumah mereka ke tempat peristirahatan terakhirnya. Kalau begitu harus berapa lama uang dikumpulkan untuk membeli puluhan kerbau, apalagi keluarga tersebut miskin. bisa-bisa mereka terpaksa melakukan tindak kriminal untuk bisa memindahkan jenazah keluarga dari rumah mereka. Atau kebanyakan seperti yang sekarang, mereka mengumpulkan uang bertahun-tahun lamanya. Serta harus sabar hidup bersama mayat di rumah mereka.
Atau contoh lainnya, lelaki Flores yang harus memberikan mahar berupa gading gajah untuk mendapatkan wanita Flores pujaanya. Kita diajak berpikir apa jadinya jika semua lelaki Flores memburu gading gajah ? Bisa jadi semua gajah di Flores mati.
Hal tersebut saya tanyakan kepada dosen saya saat materi perkualiahan 'kearifanlokal dan budaya'. Apa yang harus kita lakukan menghadapi hal-hal seperti ini. Seperti yang kita ketahui, kearifan lokal amat mengedepankan pengetahuan hingga menghasilkan kebudayaan yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lain. Ini menjadi polemik ketika pengetahuan yang dihasilkan berubah karena modernisasi, kemudian muncul teknologi yang amat memungkinkan untuk menggantikan dan menggeser kearifan lokal sebelumnya.
Dosen saya menjawab bahwa sebenarnya kita hanya fokus terhadap represantemen dari budaya dan melupakan konsep sesungguhnya.
Sebagai contoh kita menilai bahwa keberadaan delman, andong harus dipertahankan sampai kapanpun, Oleh karena itu kemana-mana kita pakai Andong. Ke sekolah, ke kantor sampai ke pasar. tentunya hal tersebut tidak praktis di tengah kemacetan, polisi dan permasalahn waktu lalu harus bagaimana?
Andong ternyata hanya represantemen atau benda budaya, tanpa mengurangi nilainya, Andong sebagai benda budaya, kita harus tahu dan paham kepentingan dan konsep yang terkandung dalam pembuatan Andong tersebut.
Konsep budaya kebersamaan, sebenarnya ada di dalam Andong. Hal tersebut tercermin dalam istilah Jawa "Mangan ora Mangan kumpul" jadi Andong itu diciptakan untuk mewakili konsep budaya Jawa yang senang berkumpul dan selalu berpergian kemana-mana bersama. Menurut dosen saya, yang harus dipertahankan justru konsep kebersamaan bukan representasi konsep budaya tersebut dalam hal ini Andong.
Begitu juga dengan ritual-ritual aneh seperti ritual di India, istri yang harus ikut mati dikremasi saat suaminya mati. Padahal bukan ritual itu yang penting, apalagi ritual itu memang merugikan kaum wanita. Justru yang terpenting adalah konsep budaya kesetiaaan dan pengabdian istri terhadap suami yang harus dipertahankan.
Konsep kebudayaan ini tentunya hanya dipahami oleh si pemilik budaya. Celakanya. semakin pluraitasnya masyarakat maka semakin menghilangkan identitas dan konsep budaya yang dianut orang-orang dengan suku bangsa tertentu. karena mereka yang telah bercampur dan berinteraksi dengan orang di suku bangsa lain terbukti menciptakan dunia baru, hal tersebut sebagai wujud dari strategi bertahan hidup mereka.
Mengerikan memang, apalaagi kita merupakan produk pluraitas yang dihasilkan tanpa punya dominasi dan pemahaman tertentu terhadap satu suku bangsa. Hasilnya kebudayaan kita tak pernah maju tapi berstatus quo atau resmi menghilang.
Pertanyaan muncul ketika kita tidak bisa lagi memaksakan benda dan ritual kebudayaan tradisional berterima dengan dan beradaptasi dengan teknologi dan pengetahuan yang terus berkembang.
Sebagai contoh, budaya Toraja yang mengharuskan satu keluarga menyerahkan sejumlah kerbau dan mengadakan pesta untuk bisa memindahkan jenazah anggota keluarganya dari rumah mereka ke tempat peristirahatan terakhirnya. Kalau begitu harus berapa lama uang dikumpulkan untuk membeli puluhan kerbau, apalagi keluarga tersebut miskin. bisa-bisa mereka terpaksa melakukan tindak kriminal untuk bisa memindahkan jenazah keluarga dari rumah mereka. Atau kebanyakan seperti yang sekarang, mereka mengumpulkan uang bertahun-tahun lamanya. Serta harus sabar hidup bersama mayat di rumah mereka.
Atau contoh lainnya, lelaki Flores yang harus memberikan mahar berupa gading gajah untuk mendapatkan wanita Flores pujaanya. Kita diajak berpikir apa jadinya jika semua lelaki Flores memburu gading gajah ? Bisa jadi semua gajah di Flores mati.
Hal tersebut saya tanyakan kepada dosen saya saat materi perkualiahan 'kearifanlokal dan budaya'. Apa yang harus kita lakukan menghadapi hal-hal seperti ini. Seperti yang kita ketahui, kearifan lokal amat mengedepankan pengetahuan hingga menghasilkan kebudayaan yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lain. Ini menjadi polemik ketika pengetahuan yang dihasilkan berubah karena modernisasi, kemudian muncul teknologi yang amat memungkinkan untuk menggantikan dan menggeser kearifan lokal sebelumnya.
Dosen saya menjawab bahwa sebenarnya kita hanya fokus terhadap represantemen dari budaya dan melupakan konsep sesungguhnya.
Sebagai contoh kita menilai bahwa keberadaan delman, andong harus dipertahankan sampai kapanpun, Oleh karena itu kemana-mana kita pakai Andong. Ke sekolah, ke kantor sampai ke pasar. tentunya hal tersebut tidak praktis di tengah kemacetan, polisi dan permasalahn waktu lalu harus bagaimana?
Andong ternyata hanya represantemen atau benda budaya, tanpa mengurangi nilainya, Andong sebagai benda budaya, kita harus tahu dan paham kepentingan dan konsep yang terkandung dalam pembuatan Andong tersebut.
Konsep budaya kebersamaan, sebenarnya ada di dalam Andong. Hal tersebut tercermin dalam istilah Jawa "Mangan ora Mangan kumpul" jadi Andong itu diciptakan untuk mewakili konsep budaya Jawa yang senang berkumpul dan selalu berpergian kemana-mana bersama. Menurut dosen saya, yang harus dipertahankan justru konsep kebersamaan bukan representasi konsep budaya tersebut dalam hal ini Andong.
Begitu juga dengan ritual-ritual aneh seperti ritual di India, istri yang harus ikut mati dikremasi saat suaminya mati. Padahal bukan ritual itu yang penting, apalagi ritual itu memang merugikan kaum wanita. Justru yang terpenting adalah konsep budaya kesetiaaan dan pengabdian istri terhadap suami yang harus dipertahankan.
Konsep kebudayaan ini tentunya hanya dipahami oleh si pemilik budaya. Celakanya. semakin pluraitasnya masyarakat maka semakin menghilangkan identitas dan konsep budaya yang dianut orang-orang dengan suku bangsa tertentu. karena mereka yang telah bercampur dan berinteraksi dengan orang di suku bangsa lain terbukti menciptakan dunia baru, hal tersebut sebagai wujud dari strategi bertahan hidup mereka.
Mengerikan memang, apalaagi kita merupakan produk pluraitas yang dihasilkan tanpa punya dominasi dan pemahaman tertentu terhadap satu suku bangsa. Hasilnya kebudayaan kita tak pernah maju tapi berstatus quo atau resmi menghilang.
Ehemmm Hallo Salam Bloger hhehehe ,.... Apa Kabar...? Hahha Sok Kenal Aku,
ReplyDeleteTulisan kamu sangat bagus, enak dibaca, Mantap Sekali, Luar biasa dan Saya Kagum Lho.... Tp sy Sedikit Ralat, Pada Paragraf Ke Empat, Di flores Tidak Ada Gajah, Sejak Zaman Nenek Moyang sampai Sekarang, Bahkan Fosilnya Tidak Ada, Flores memang aneh, Negeri tak bergajah, Tp Bermaharkan gading Gajah ehehehhehe, eheeemmm Saya Orang Flores Jd saya tau hahahahhahaha