Terkadang pemirsa tidak sadar ataupun
tidak mengetahui bahwa ada makna dan ideologi di balik pariwara atau iklan.
Tanda dalam pariwara tersebut bisa dibaca dengan proses signifikasi dan
memahaminya sebagai mitos. Mitos atau mythes adalah suatu jenis tuturan atau
sistem komunikasi yang membawa pesan baik verbal non verbal atau campuran
di antaranya. Untuk memaknai iklan pertama-tama harus mengetahui dulu konsep
signifikasi Roland Barthes. Menurut Barthes ada dua tahap untuk memahami makna
yaitu tanda menjadi penanda kemudian punya petanda lain.
Barthes |
Sebagai contoh, pada tahap pertama
‘Volvo’ mempunyai konsep (petanda) merek mobil kemudian pada tahap kedua
mempunyai petanda ‘kemewahan’. Perluasan makna ini disebut dengan konotasi. Dari
sini diketahui tahapan kedua atau petanda kedua tidak lepas dari petanda
pertama. Bahkan sebenarnya tahapan pertama saja cukup untuk membangun makna,
namun tanda yang dihasilkan pada tahap pertama bergeser ke tahap kedua sehingga
menyisakan tempat untuk tanda yang hadir selanjutnya.
Selain itu,
konsep yang diciptakan mitos itu kerap berubah-ubah mulai dari dapat dibuat
kembali, terurai ataupun hilang. Namun ketika konsep ini hilang maka konsep
yang terbentuk kembali tidak akan sama dengan konsep awalnya. Seperti,
perbedaan pemakanaan rumah Gojong di Minangkabau dengan yang ada di Jakarta.
Orang yang melihat rumah tersebut di Minangkabau tidak akan merasa terlibat
sebesar keterlibatan pemaknaan orang yang melihatnya di Jakarta.
Dari mitos
inilah banyak orang mulai membentuk dan menanamkan idelogi. Menurut Van Zoest,
ideologi adalah sejumlah asumsi yang memungkinkan penggunaan tanda. Lebih
jelasnya orang yang ingin tahu lebih jauh tentang budaya harus mengerti dulu
ideologi kelompok budaya tersebut. Sehingga jika ingin menanamkan ideologi maka
bisa ditampilkan lewat mitos yaitu pesan
atau ungkapan budaya baik secara verbal atau non verbal.
Proses mitos
atau pesan menjadi ideologi adalah sebagai berikut :
a.
Pemaknaan
dimulai dari pemaknaan harfiah yaitu pembaca menyesuaikan diri dengan penanda
yang kosong. Sedangkan si pembuat mitos mulai mengisi pemakanaan dengan konsep
yang sesuai.
b.
Jika pembaca
sudah bisa menyesuaikan diri dengan bentuk dan arti dalam penanda itu maka
pemaknaan tahap kedua selesai. Di sini pembaca menganalisis mitos atau konsep
yang disajikan dan mulai memahaminya layaknya pembuat mitos.
c.
Jika sudah
menyatu dan berhasil menyesuaikan diri dengan penanda mitos, dia akan mulai
menemui makan tersebut amigu.
Dari sini disimpulkan bahwa pemirsa melangkah dari
semiologi menuju ideologi dan melihat fungsi dari mitos yang disajikan iklan.
Meskipun pada dasarnya mitos tidak menyembunyikan sesuatu dan tidak pula
menonjolkan pesan yang disampaikannya. Tapi mitos bersifat deformasi yaitu
pembelokan makna sehingga memungkinkan mitos bisa mengubah pengalaman menjadi
sesuatu yang alamiah.
Ada tiga posisi yang yang berkaitan dengan mitos,
pertama, si pembuat mitos adalah orang yang menyebarkan ideologi. Kedua, si
ahli mitos adalah orang yang menganilisis mitos. Terakhir, si pembaca mitos (pemirsa)
adalah orang yang menerima ideologi yang disebarkan oleh pembuat mitos. Dalam
menyebarkan mitos, jika pariwara dihentikan atau penjualan produk tak berhasil
maka bisa dikatakan penyebaran ideologi dikatakan tidak berhasil.
Sebagai contoh dalam propaganda ideologi yang
disampaikan tersirat dalam iklan layanan masyarakat PLN.
A.
Di situ
digambarkan beberapa lelaki berkumpul dan berbincang di tempat yang kumuh.
Salah satu dari para pemain yakni pelawak sambil memegang stop kontak dia
berkata. “Kalau subsidi dicabut rakyat mati angin” tokoh yang lain menimpali
“Rakyat yang mana? Mbok jangan pake alasan rakyat kecil terus, deh! Dapat punya
kipas angin kok minta disubsidi. Yang keringetan dong, yang disubsidi. Rakyat
kecil dikipas terus, ya kepanasan toh”. Laki-laki pertama “Kipassss, kipass!
Angiiiin, angiiin!”. Laki-laki kedua “Jaman susah, kipasin dong orang yang
lebih kecil, agar kita-kita ini dapat angin toh!” dibalas oleh lelaki pertama
“Kipasss,kipasss!” Laki-laki kedua menimpali “Angiiin,angiiin!” Laki-laki
pertama “panaaas, paaanas!”. Laki-laki kedua “Angin, angiiin!”
Dari
sudut pembuat iklan :
Dalam
iklan sosialisasi kenaikan listrik oleh PLN ini, seolah-olah tampak PLN
berpihak pada rakyat. Seperti ucapan
tokoh yang mengatakan jika “subsidi dicabut rakyat kecil susah”. Kemudian
ucapan itu langsung diikuti ujaran pemilik kipas angin “orang orang yang
gelisah karena harga listrik naik” . Dari situ si pemilik kipas angin tentunya
orang mampu dan seharusnya bisa membantu rakyat.
Dari sudut pandang ahli mitos :
Ahi mitos di sini mencoba membaca pariwara itu secara
berbeda. Dari iklan yang sekilas menonjolkan sosialisasi kenaikan harga listrik
oleh PLN, ahli mitos justru memandang PLN hanya berlagak berpihak pada rakyat.
PLN seakan-akan membebankan tanggung jawab kenaikan harga listrik kepada
golongan lain demi kepentingan rakyat. Seperti dalam kalimat “rakyat mana? Mbok
jangan pake alasan kecil terus deh! Dapat punya kipas angin kok minta
disubsidi. Yang keringetan dong yang disubsidi. Rakyat kecil dikipas terus ya
kepanasan dong”.
Selain itu pemeran iklan tersebut, PLN mencoba
menggambarkan rakyat miskin dengan latar tempat yang kumuh dan pemeran iklan
yang tua-tua. Tak jarang para pemain di-close up untuk memperlihatkan citra
‘keniskinan’ mereka. Padahal bisa saja ditampilkan secara wajar dan sederhana.
Dari sudut pandang pemirsa :
Kita tidak menyamaratakan pandangan pemirsa terhadap
iklan sosialisasi kenaikan harga listrik PLN ini. Mungkin sebagian menggangap
iklan itu sebagai corong PLN saja untuk mencapai tujuannya yaitu
menyosialisasikan kenaikan harga listrik. Di lain pihak ada yang menganggap
iklan ini kurang berbudaya karena bicara sambil tidur santai .
Komentar
:
Pesan atau mitos yang diulang-ulang tentunya menjadi
ideologi masyarakat. Namun yang perlu dicermati bahwa tidak semua ideologi
dalam pariwara sampai kepada pemirsa pada umumnya. Sebab harus diketahui ada
banyak latar budaya di Indonesia sehingga nilai-nilai lokalitas berbeda.
Bahayanya ideologi yang sudah terserap masyarakat kota menjadi ideologi baru
untuk masyarakat pedesaan, dimana TV juga menjadi hiburan untuk mereka.
Memang seharusnya hal tersebut menjadi perhatian bagi
para pembuat iklan dan penyebar ideologi di tengah masyarakat berbhineka ini.
Selain menimbulkan sisi negatif, ideologi yang disajikan juga bisa memacu
kemajuan di desa tersebut. Bukan hanya bermasalah di interpretan sebagai
penerima tanda, permasalahan dan tanggung jawab moral juga ada pada pembuat
iklan. Para pembuat iklan cenderung menanamkan ideologi kebudayaan kota sebagai
jualan iklan mereka. Padahal ideologi yang terkandung dalam iklan selalu harus
berkaitan dengan kebudayaan. Jika kebudayaan suatu daerah tidak menerima namun
di lain pihak kebudayaan lainnya menerima akan menjadi masalah tersendiri.
Oleh karena itu, di Indonesia yang punya beragam
budaya alangkah baiknya menanamkan ideologi sesuai dengan norma atau nilai umum
yang dapat diterima masyarakat bukan berpatokan kepada kalangan dan
menghiraukan budaya Indonesia yang lain. Sebagai contoh , iklan rokok Surya
yang menampilkan sosok orang sukses dengan hidup glamor. Dengan tanda
mengendarai mobil mewah, kerja di gedung bertingkat, berpesat dan sebagainya.
Apakah iklan tersebut cocok untuk kalangan menengah ke bawah atau masyarakat
pedesaan. Sukses bagi masyarakat pedesaan tentunya bukan selalu seperti itu,
sukses bagi orang desa bisa saja punya sawah berhektar-hektar atau juragan
angkot misalnya. Si pembuat iklan menampilkan seolah-olah sukses hanya untuk
orang kota dan milik kaum jetset. Tak heran jika iklan ini ditampilkan terus
menerus bisa jadi ideologi sukses dengan
mobil mewah, kerja di kantor, dikelilingi gadis cantik dan sebagainya.
Comments
Post a Comment