Eksotisme di Timur Indonesia yang Menggugah Nasionalisme - NTT (1)

Punya kesempatan bisa meliput di Timur Indonesia bak menemukan emas di tengah jalan. Ini, kata redaksi, merupakan hadiah kelulusan gue setelah jatuh bangun penuh air mata menyelesaikan S2 selama 2 tahun sambil bekerja dan akhirnya menjadi satu-satunya Master pertama di angkatan gue.

Kalau diinget-inget betapa berat dan melelahkannya menempuh S2 sembari tetap profesional sebagai jurnalis. Sampai harus nangis2 di halte busway karena kecapean sangat, setelah sebelumnya liputan sampe dini hari besokannya harus lembur lagi. Mulut saat itu udah enggak bisa bilang capek lagi, cuma mata aja yang basah

Kelelahan sampai tertidur  gara-gara  menunggu Jokowi yang ngaret di tempat liputan dan keesokannya kuliah pagi. Atau juga kelelahan karena jagain Novel Baswedan yang ditangkap polisi dari jam 3 pagi sampai hampir tengah hari. Suka duka itu terganti dengan trip ke NTT ini. Kali ini misinya, bersama Aus Aid dan Tifa Foundation, menggali cerita para TKI ilegal yang banyak datang dari NTT.

http://www.tifafoundation.org/di-belu-ntt-3-000-tki-illegal-pergi-ke-malaysia-tiap-bulan/

Sesampainya di sana, gue langsung ke rumah seorang ibu yang tinggalnya  ibu kota provinsi, Kupang tapi  kondisinya masih desa gitu dengan lantai masih tanah tanpa ubin. Tapi di dalamnya ada semangat yang mungkin bisa meruntuhkan gedung setinggi apapun.

Ya, dia berhasil membentuk wadah wanita semacam koperasi sekaligus pengelolaan usaha tenun dan perkebunan, yang mampu memajukan kesejahteraan penduduk yang tinggal di sana. Super banget kan.


Dari Kupang, selama 6 jam kita menuju Atambua, Malaka dan Belu yang berbatasan banget sama Timor Timur, bekas daerah milik kita. Kita sempet mampir di So'e yang produktif menghasilkan alpuket yang dagingnya mulus luar biasa.


Bukan cuma alpukat, di NTT juga terkenal sama Se'i, masakan berbahan daging babi. Beberapa kali pihak LSM dan wartawan menawarkan gue makanan ini, meski mereka tahu gue gak makan babi. Segala cara dikerahkan mereka supaya gue makan, dan akhirnya gue bertahan meski gue bete di ujuk-ujuk terus.

Sesampainya di Atambua sudah malam hari, langsung istirahat karena besok paginya kita harus ke daerah Belu untuk wawancara tokoh desa di sana, Jalan yang kita tempuh lumayan ekstrem karena harus naek turun bukit berjalan  non aspal sampe jalanan yang semi sungai. Beuh berasa banget adventure-nya. Cool!









Comments